TERBUKA PADA BIMBINGAN-NYA

( 06-02-2019 )

Orang bilang kalau harapan itu penting. Dengan harapan orang masih memiliki alasan untuk melangsungkan kehidupan. Karena itulah seorang penulis terkenal pernah berujar, “Kita boleh kehilangan apapun, tapi jangan sampai [kita kehilangan] harapan.” Harapanlah yang menolong kita memiliki keyakinan bahwa di depan masih ada jalan terbentang.

Tak jarang, harapan demikianlah yang kita bawa dalam doa. Kita ingin agar Tuhan merestui harapan kita tersebut. Namun, harapan tak selalu hadir dalam keadaan kosong. Ia hadir bersama dengan daftar keinginan di dalamnya. Yang lebih celaka ialah harapan datang ke hadirat Tuhan beserta juga dengan bagaimana keinginan itu harusnya diwujudkan. Inilah yang kerapkali kita sebut dengan istilah “terlalu berharap”. Pada tahap ini, harapan yang semula hendak membawa kita pada kehidupan, malah dibelenggu oleh daftar keinginan manusiawi kita.

Apa yang terjadi kemudian? Kita memaksa Allah. Memaksa Allah untuk melakukan “mukjijat” sesuai dengan keinginan kita. Kita tidak sedang ingin diajar oleh Tuhan apa artinya dibimbing oleh-Nya. Kita sedang mengajari Tuhan bagaimana seharusnya mengatasi sebuah persoalan.

Persis inilah yang terjadi pada orang-orang di Nazaret. Mereka semula kagum setengah mati dengan kuasa Tuhan Yesus. Mereka memuji-Nya. Mereka bahkan juga menyetujui ketika Tuhan Yesus berkata, “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” Namun, pada saat yang sama mereka kecewa. Kecewa karena Tuhan Yesus tak membuat mukjijat di tanah tempat Dia dibesarkan. “Bukankah Ia ini anak Yusuf?” Demikian kata mereka. Seolah-olah mereka sedang berkata, “Kalau benar Engkau nabi, lakukan semua hal baik yang telah kami dengar itu di sini, di tempat Engkau dibesarkan!” Mereka sedang mengajari Tuhan Yesus bagaimana seharusnya menjadi seorang Mesias.

Itulah sebabnya, Tuhan Yesus dipaksa menuju tebing gunung. Mereka berharap melihat mukjijat. Mereka ingin mukjijat terjadi di Nazaret. Namun, apa yang terjadi? Tuhan Yesus sama sekali tak melakukan mukjijat. Ia justru “berjalan lewat dari tengah-tengah mereka, lalu pergi.”

Adakalanya kita membawa harapan kita. Awalnya kita pasrah. Kita benar-benar ingin ditolong oleh Tuhan di masa-masa gelap kita. Namun, harapan itu kemudian bercampur juga dengan daftar keinginan bagaimana seharusnya harapan itu diwujudkan. Kita mengajari Tuhan bagaimana seharusnya menyelesaikan sebuah persoalan. Kita memaksa Tuhan membuat mukjijat dalam hidup ini. Adakalanya dikabulkan, sehingga membuat kita merasa bahwa Tuhan benar-benar sayang dan mendengarkan keluh kesah kita. Namun, tak jarang harapan itu sama sekali tidak dikabulkan. Seakan-akan Tuhan berjalan lewat dari tengah-tengah persoalan kita, lalu pergi.

Apakah benar bahwa ketika harapan itu tak terwujud lantas Tuhan benar-benar pergi? TIDAK! Tuhan sedang memberi kita waktu untuk tahu apa artinya berharap pada-Nya. Tuhan sedang memberi kita kesempatan untuk belajar apa artinya dibimbing sesuai dengan jalan pikiran-Nya. Tuhan sedang mengajarkan kepada kita apa artinya beriman secara benar. (ykc).