PENYANGKALAN RELASI

( 07-08-2018 )

     Jika kita membaca Kitab Suci Perjanjian Lama dengan teliti, kita akan menemukan sejarah Israel yang sarat dengan kisah-kisah pemberontakan, omelan, ketidak-puasan, ketidak-mampuan meng-ucapkan syukur dan penolakan akan Allah. Bangsa Israel adalah salah satu bangsa yang sangat dikasihi Allah, namun juga sering dihukum baik secara ringan maupun dengan hukuman berat, seperti hukuman pembuangan. Allah yang demikian penyabar sering menghadapi tingkah-laku bangsa Israel yang oleh nabi Yehezkiel disebut sebagai "bangsa pem-berontak... yang keras kepala dan tegar hati." (bdk.Yeh.2:2-6)
Kedurhakaan bangsa Israel bukanlah seperti bangsa-bangsa lain yang menyembah berhala. Para penyembah berhala memang tidak pernah percaya kepada     Allah dan allah mereka adalah allah buatan tangan mereka sendiri, seperti patung-patung, binatang-binatang mitis, bahkan uang, kekuasaan, dan keangkuhan. Orang Israel pada dasarnya bukanlah penyembah berhala sebab mereka sudah percaya akan Yahweh, Allah Abraham, Isak, dan Yakub. Kedurhakaan bangsa Israel yang sering mereka lakukan adalah sebuah penolakan kepada Yang Ilahi atau suatu penyangkalan relasi. Orang Israel sudah sempat percaya kepada Allah dan kepercayaan itu sudah dimeteraikan dalam suatu bentuk perjanjian, yakni Perjanjian Sinai. Orang    Israel menjadi durhaka ketika perjanjian itu ditolak, ketika relasi dengan Allah disangkal. Allah dicuekin dan karena itulah Allah pun terkadang memberikan hukuman kecil-kecilan atau hukuman pinalti, jika kekurang-ajaran bangsa pemberontak itu sudah kelewat dosis.
Bangsa Israel menjadi durhaka dengan Allah, setiap kali bangsa itu merasa kuat, makmur, mampu mengurus diri sendiri; mereka mulai memasang prinsip 'otonomi': Tuhan tak perlu lagi campur tangan, karena kita bisa mengurus dan menyelamatkan diri sendiri! Inilah wujud kesombongan Israel. Wujud kesombongan primordial ini juga dilakukan oleh nenek moyang umat manusia Adam dan Hawa, ketika mereka ingin menjadi otonom agar sama seperti Allah, dan tidak lagi tergantung pada Sang Pencipta, sumber eksistensi mereka. Kesombongan eksistensial ini menjadi sebuah penolakan: Allah ditolak sebagai yang berdaulat dan berkuasa atas hidup manusia. Inilah dosa Adam dan Hawa: keterasingan dari sumber asali hidup dan keterasingan inilah yang membuat manusia terjerembab ke dalam penderitaan hidup yang tak kunjung habis.
Kesombongan inilah yang juga disadari oleh Paulus. Karenanya Paulus tidak ingin dipuja dan dipuji ketika mewartakan Kristus; sebab yang pantas dipuja adalah Kristus. Paulus tidak ingin relasinya dengan Kristus menjadi rusak dengan memperalat Kristus. Ia tidak ingin berubah menjadi sombong seperti bangsa Israel. Itulah sebabnya ia tetap rendah hati menghadapi situasi hidupnya ketika mewartakan Kristus, dengan mengatakan: "Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat." (2 Kor.12:10).
Saudaraku, sadarkah Anda bahwa kebanyakan kedurhakaan orang Kristen adalah tidak menerima Yesus sepenuhnya dan selamanya; ia tega menjual imannya hanya karena sesuatu yang bersifat dunia-wi dan sementara. Inilah dosa menolak Kristus, penyangkalan relasi denganNya; cuek terhadap Kristus dan ajaranNya berarti menyangkal jati diri Kristus. Banyak orang Kristen justru merasa diri kuat dan bisa menyelamatkan dirinya sendiri tanpa campur tangan Yang Ilahi. Ingatlah selalu, jangan sombong karena dunia  memang dapat memberikan apa saja, kecuali: kebahagiaan dan kedamaian!(Hd.)