Teladan Hidup di Dalam & di Luar Gereja

( 19-04-2018 )


Ketika saya  masih remaja, kurang lebih berusia 15 tahun, atau 40 tahun yang lalu, saya   masih mudah menjumpahi orang yang menjadi teladan hidup. Misal jika saya  berbicara keras sedikit saja, ayahku langsung menegurnya katanya :” Lek omong iku ojo seru-seru, nggak becik, gak apik “. Kalau berbicara itu jangan keras-keras itu tidak sopan. Jika saya melewati jalan dan disitu banyak orang  sedang duduk dipinggir jalan selalu dinasehatkan :”Nuwun sewu, nderek langkung .” artinya menghargai yang sedang duduk disitu. Ketika bertemu dengan orang lain, terlebih yang  lebih tua langsung dinasihatkan untuk menyapa lebih dulu:” Sugeng enjing pak atau bu .” Itulah keteladanan hidup, dan setiap hari kita jumpai dalam keluarga-keluarga. Memang dalam  perkembangan pengetahuan pada waktu itu kurang, tetapi untuk menjadi teladan hidup, orang jaman dulu ternyata lebih unggul.
Nenek moyang bangsa Indonesia sangat amat menghargai dan memiliki sikap hormat dan peduli  terhadap sesamanya, dengan kata lain diungkapkan secara mendalam dengan kata (jawa) “Tepa Selira” artinya menempatkan “Selira” dengan benar. “Selira” artinya badan atau tubuh berarti harus menempatkan diri dengan benar.
Bagaimana keadaan jaman sekarang? Kebanyakan keluarga keluarga  jaman sekarang tidak punya waktu untuk memberikan keteladanan hidup. Waktunya banyak untuk bekerja memenuhi tuntutan hidup.  Akibatnya bangunan pendidikan karakter terkikis, dan kurang mendapat perhatian. Tidak heran bahwa sekarang ada berita anak membunuh orang tuanya sendiri. Peserta didik aktip, membunuh gurunya yang sedang mengajar. Bahkan ada orang tua siswa menganiaya kepala sekolah sampai berdarah-darah, karena sekolah mendisiplinkan peserta didik.
Berbuat salah sudah tidak mengenal tempat misalnya di kafe,  rumah, sekolah, kantor bahkan di gereja. Dalam Kitab Keluaran juga diingatkan akan keteladanan hidup yang bersumber pada Allah. Dalam menggembalakan umat Israel, Musa tak henti hentinya selalu mengingatkan bangsa itu akan  inti “Perjanjian” Aku Allahmu dan kamu bangsa-Ku dengan  mengikatkan diri pada “Dekalog” yaitu kesepuluh firman Allah ( Kel 20:1-17). Harapannya bangsa itu berjalan seiring dengan kehendak Allah. Membangun kesucian bersama Allah.
Dalam Injil, Tuhan Yesus bertindak tegas atas Bait Suci yang di gunakan untuk berdagang.
Ia membuat cambuk dari tali lalu mengusir mereka semua dari Bait Suci dengan semua kambing domba dan lembu mereka; uang penukar-penukar dihamburkan-Nya ke tanah dan meja-meja mereka dibalikkan-Nya (Yoh. 2 : 15). Jelas sekali mereka sudah tidak mampu membedakan tempat suci dan tempat profane yang lain demi mengejar barang atau lebih mementingkan benda dari pada mencari kesucian. Tuhan Yesus marah bukan karena kita berbuat dosa, Ia adalah maha pengampun dan maha kasih. Tuhan Yesus marah karena kita tidak bisa lagi membedakan mana yang baik, benar, mulia, berkenan dihadapan Tuhan dan sesama. Melaksanakan kesepuluh perintah Allah merupakan keharusan sebagai orang beriman.
Maka teringatlah murid-murid-Nya, bahwa ada tertulis: “Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku (Yoh. 2 : 17). Demi cinta akan rumah-Mu menghanguskan Aku, sebuah ungkapan yang mengharukan.  Tuhan Yesus mau mengembalikan Fungsi Tempat Ibadat yang disebut “Bait Suci” ya untuk menggapai kesucian bukan untuk mencari yang lain.
Kita diajak untuk memiliki sikap yang baik dan benar dalam rumah Tuhan. Pada waktu beribadat dan kita melakukan aktifitas yang lain misalnya bermain “HP” di dalam gereja, merupakan sikap yang kurang terpuji, artinya di dalam gereja kita punya kesempatan untuk berdoa dan memuliakan Allah, bukan untuk yang lain.
Sudahkah saya menjadi teladan hidup beriman, terutama sikap dan perilaku saya bertindak baik dan benar  ketika ada di dalam rumah Tuhan  ? Semoga ! ( -thomas- )