MENGGALI MAKNA HIDUP SETURUT TELADAN YESUS

( 17-04-2018 )

     

Pernahkah dalam hidup ini kita merasa bahwa hidup kita tak bermakna? Pernahkah kita merasa bahwa pekerjaan yang kita lakukan ini serasa sia-sia? Pernahkah kita merasa bahwa kita hanya menjadi budak dari pekerjaan-pekerjaan yang kita jalani? Atau mungkin kita hanya menjadi budak dari ambisi-ambisi kita yang tak pernah usai? Kita merasa hidup kita tak berkembang. Kita mungkin berhasil, tapi hati kita merasa kering. Kita mungkin sampai pada pencapaian tertentu, tapi kita merasa diri kita kerdil.
Demikianlah yang dirasakan oleh Ayub di dalam bacaan I yang hari ini kita baca dan dengarkan bersama. Ayub merasa hidupnya tak berarti. “Bukankah manusia harus bergumul di bumi, dan hari-harinya seperti hari-hari orang upahan? Seperti kepada seorang budak yang merindukan naungan, seperti kepada orang upahan yang menanti-nantikan upahnya, demikianlah dibagikan kepadaku bulan-bulan yang sia-sia, dan ditentukan kepadaku malam-malam penuh kesusahan” (Ayb 7:1-3).
Ayub sungguh berada dalam depresi yang berat. Dia merasa hidupnya sama sekali tak lagi bermakna. Dia merasa bahwa dirinya hanyalah salah satu bagian dari rangkaian alat produksi. Dia tak menemukan dirinya berharga.
Ayub bisa jadi bukan hanya sosok yang ada sekitar 500 atau 700 tahun sebelum Yesus lahir di dunia. Ayub bisa jadi adalah kita. Kita yang saat ini sedang berada dalam kedangkalan hidup. Kita yang saat ini tengah berada di dalam kekeringan, oleh karena beban pekerjaan.
Siang berganti malam. Hari bergerak pelan. Kita hanya menjadi penunggu jam, yang menanti jam makan siang dan istirahat. Atau mungkin kita menantikan jam pembebasan kita dan mengisinya dengan pelarian ke tempat-tempat yang begitu bising, hanya untuk melupakan/melampiaskan beban hidup kita. Namun, pada akhirnya, malam kita pun terasa begitu panjang karena dipenuhi kegamangan dan ketegangan akan beban esok hari.
Tuhan Yesus dalam bacaan Injil mengajarkan satu hal berharga dalam hidup ini. Ia berani melihat pekerjaan-Nya sebagai rahmat. Ia populer. Tetapi, Ia tidak terbelenggu untuk sesegera mungkin mengambil momentum tersebut demi popularitas diri.
Yesus tidak mencelupkan diri dalam kebisingan pekerjaan-Nya. Yesus menarik diri dan melihat kembali makna pekerjaan-Nya di dunia. “Keesokan harinya, waktu hari masih gelap, Yesus bangun dan pergi keluar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana” (Mrk 1:35). Ketika Ia menarik diri, Ia menemukan kembali tujuan perutusan-Nya di dunia ini. Ia menemukan kembali makna pekerjaan-Nya. Ia pada akhirnya menemukan kembali makna diri-Nya bagi dunia.
Makna hidup hanya mungkin diperoleh dalam keheningan, dalam doa, dan dalam kebersatuan dengan Allah. Syaratnya hanya ini: kita mau terbuka dan jujur kepada Allah akan siapa diri kita. (Rm. Johan, CM)