KASIH KEPADA ALLAH DAN KASIH KEPADA SESAMA

( 31-10-2017 )

Dalam Dalam Bacaan Pertama dan Injil Matius hari ini kita diingatkan tentang kasih/cinta. Ternyata kasih itu adalah kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama, dan kedua kasih itu tidak terpisahkan, tidak ada yang eksklusif. Kasih kepada Allah itu terutama harus tampak dalam kasih kepada sesama. Bacaan-bacaan hari ini mengajak kita untuk menyesali kekurangan kita terhadap sesama, serta mohon pengampunan kepada Allah.
Injil hari ini mengandung sumber/pegangan fundamental isi kepercayaan/iman bangsa Yahudi: “Dengarkanlah, hai orang Israel: Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu” (Ul 6:4-5). Inilah inti sari hidup keagamaan Yahudi sejati. Namun ada tambahannya: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri: Akulah Tuhan” (Im 19:18).
Dalam Injil hari ini diperlihatkan kepada kita perbedaan ahli-ahli Taurat dan kaum Farisi yang berhadapan dengan Yesus. Ia adalah Guru meskipun bukan dikenal sebagai ahli suatu sekolah Taurat tertentu. Padahal para ahli Taurat dan kaum Farisi oleh masyarakat dianggap sebagai orang-orang ahli dan intelektual. Kaum Farisi mengenal 613 perintah Taurat, yakni 5 buku Perjanjian Lama. Dari 613 perintah itu ada 248 yang bersifat positif: “kamu harus...” , dan 365 bercorak negatif: “kamu jangan...” . Dengan latar belakang ini mereka menguji atau mau menjegal ajaran atau pendapat Yesus! “Hukum manakah yang terbesar atau yang paling penting?”
Pertanyaan mereka hanya mengenai satu hukum, tetapi Yesus memberi jawaban yang lebih luas dan menyeluruh: kasih kepada Allah tidak terpisahkan dari kasih kepada sesama . Yesus menegaskan: “Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat 22:40).
Jadi sebenarnya kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama bukan orisinil asli hanya dari Yesus, melainkan dari Allah sendiri, sudah sejak Perjanjian Lama. Namun ada kekhususan yang berasal dari Yesus. Yaitu bahwa kedua perintah itu adalah sama! Pendorong atau motivasi kasih kita kepada sesama berasal atau bersumber dari kasih kita kepada Allah. Kasih kita kepada Allah harus dibuktikan dengan kasih kita kepada sesama. Jadi kasih kepada sesama merupakan tuntutan kasih sejati kita kepada Allah. Bahkan dapat dikatakan bahwa kasih kepada sesama harus ada sebelum mengasihi Allah. Tidak ada kasih sejati kepada Allah, apabila melupakan kasih kepada sesama! Kasih kita kepada   Allah akan sungguh menjadi asli atau otentik, apabila kasih itu kita laksanakan dengan mengasihi sesama.
Ensiklik Paus Benediktus XVI yang pertama berjudul: “Deus caritas est”, “Allah adalah kasih” (2005).  Marilah kita membaca pesan Paus Wakil Kristus untuk kita, yang tertulis dalam ensiklik tersebut:
Kita percaya akan kasih. Demikianlah orang kristiani dapat merumuskan keputusan dasar hidupnya. Awal hidup sebagai orang kristiani bukanlah keputusan etis atau suatu gagasan besar, melainkan pertemuan dengan suatu peristiwa, seorang pribadi yang memberi kepada hidup kita wawasan baru dan dengan demikian arah yang menentukan. Dalam Injilnya Yohanes merumuskan peristiwa itu dengan kata-kata sebagai berikut:
“Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal,supaya setiap  orang yang percaya kepada-Nya, beroleh kehidupan kekal” (Yoh 3:16).
Dengan menerima kasih sebagai pusat, iman kristiani telah menerima apa yang merupakan pusat iman Israel, dan memberinya kedalaman dan keluasan baru. Karena orang Israel yang beriman setiap hari mendoakan kata-kata dari Kitab Ulangan, yang diketahuinya merangkum pusat hidupnya:
"Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ul 6:4-5).
Perintah kasih akan Allah ini dipadukan oleh Yesus (bdk. Mrk 12:29-31) dengan perintah kasih akan sesama dari Kitab Imamat:
”Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Im 19:18). Karena Allah yang lebih dahulu mengasihi kita (bdk. 1 Yoh 4:10), maka kasih bukan lagi hanya “perintah”, melainkan jawaban atas anugerah dikasihi oleh Allah yang menyambut kita.
Saudaraku, Kasih Allah itu setiap kali dapat kita terima dan rasakan dalam perayaan Ekaristi, di mana kasih Yesus kepada kita sebagai sesama-Nya menyerahkan tubuh dan darah-Nya kepada kita. Seperti ditegaskan oleh Paus Benediktus XVI, bahwa Ekaristi adalah Sakramen Cinta Kasih. Selamat menghayati Ekaristi bersama keluarga. (Hd)