Ingatkah kita dengan tanggal baptis kita? Kapan kita secara resmi menjadi seorang Katolik (pengikut Kristus)?
Sudah berapa lama kita mengaku diri sebagai pengikut Yesus Kristus? Dan dari waktu yang sedemikian lama ini,
pernahkah kita bertanya pada diri kita masing-masing, apa artinya menjadi seorang Katolik (pengikut Kristus) dan
apakah kita sudah menjadi pengikut Yesus yang sejati? Bacaan Injil pada hari ini menantang kita untuk memperdalam
iman kita terhadap Tuhan Yesus Kristus.
Minggu yang lalu kita mendengarkan pengakuan iman Petrus yang begitu gagah. Petrus berkata kepada Tuhan
Yesus bahwa Ia adalah “Mesias, Anak Allah yang hidup” (Mat 16:16). Dari pengakuan iman Petrus ini kita
diyakinkan bahwa Yesus yang kita imani ini adalah benar-benar Allah dan benar-benar yang diurapi oleh Allah
sendiri. Karena jawaban itulah Petrus dipuji oleh Tuhan Yesus, “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab
bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di surga” (Mat 16:17).
Namun apa yang terjadi pada hari ini? Tuhan Yesus menegur Petrus dengan sangat keras dan bahkan menyebutnya
sebagai iblis. Mengapa Tuhan Yesus bisa sedemikian cepat berubah, dari memuji Petrus sebagai perantara sabda
Bapa hingga kemudian membentaknya sebagai iblis?
Tuhan Yesus hendak meluruskan lagi apa artinya Mesias itu. Adalah benar yang dikatakan oleh Petrus bahwa
Yesus adalah Mesias, yakni Anak Allah yang hidup. Namun, Petrus berhenti pada satu titik ini. Hal ini tampak
dalam penolakan Petrus kepada Yesus manakala Tuhan Yesus memberitakan bahwa Mesias itu harus menderita.
Bagi Petrus, Mesias tidak boleh/mungkin menderita. Namun, Tuhan Yesus hendak mengajarkan satu hal berharga
bagi Petrus. Keilahian Yesus sebagai Mesias bukan hanya terletak pada kehebatan-Nya sebagai Allah: membuat
orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan
(bdk. Mat 11:2-5). Keilahian Yesus sebagai Mesias juga terletak pada kesiapsediaan-Nya untuk menanggung
derita, sama seperti manusia pada umumnya. Tuhan Yesus besar bukan hanya karena Ia adalah Allah yang bisa
melakukan hal-hal besar, melainkan juga karena Ia yang adalah Allah, mau untuk mengambil rupa seorang hamba
(bdk. Flp 2:7), dan turut merasakan susah deritanya menjadi manusia pada umumnya. Dari sini kita belajar satu hal
berharga dari Tuhan Yesus bahwa orang menjadi hebat bukan hanya karena ia bisa melakukan hal-hal besar,
melainkan juga karena ia mau merendahkan diri dan melayani orang-orang yang ada di bawah maupun sekitarnya.
Karena itulah kemudian Tuhan Yesus menyatakan dengan sangat tegas, “Setiap orang yang mau mengikut Aku,
ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat 16:24). Tuhan Yesus sudah menyatakan
dengan jelas siapa diri-Nya. Di satu sisi, Ia adalah Anak Allah yang mampu memberikan kehidupan kepada setiap
orang yang datang kepada-Nya. Di sisi lain, Tuhan Yesus adalah manusia yang mau menderita dan melayani
sesamanya. Jika kita benar-benar mengatakan pengikut Kristus, kita pun akan mengambil jalan hidup persis seperti
yang dijalani-Nya.
Dari sini kita semua sadar bahwa tidak mudah dan beratnya menjadi pengikut Tuhan Yesus. Kita pasti akan
kehilangan nyawa (kenyamanan, kesenangan, ambisi untuk mengejar prestasi pribadi) kita demi mengikuti-Nya
(bdk. Mat 16:25). Namun, jika kita berani kehilangan “nyawa” kita itu, kita akan mendapatkan nyawanya: kedamaian,
kebahagiaan, kebijaksanaan hidup kedewasaan (bdk. Mat 16:25-26).
Maka pertanyaan yang patut untuk kita renungkan, “Sudahkah Anda senantiasa rela kehilangan nyawa Anda
karena Yesus?” Jika sudah, Anda sedang berada di jalur yang tepat dalam mengikuti Tuhan Yesus. Jika belum,
kinilah saatnya! (Johan, CM).