Inilah tema besar Gereja Semesta yang dicanangkan Paus Fransiskus dalam Tahun Kerahiman (8 Desember 2015 – 20 November 2016). Bacaan Injil hari ini (Lukas 15:1-32) yg mengkisahkan “Kembalinya Anak yg Hilang” sarat dengan nilai nilai kerahiman ilahi, yg mempunyai 3 lakon pokok:
1. Anak bungsu:
Kita mencintai hidup yang dinamis: “terbang” – pergi dan sibuk ke banyak tempat - bertemu dengan banyak orang dan banyak soal tapi pada akhirnya kita tersungkur “jatuh”.
Dengan kata lain: Kita menjadi anak yang “hilang”, yakni ketika kita “sibuk”, pergi ke banyak tempat dengan banyak orang dan aneka gerakan, tapi pada akhirnya, karena kekurang hati-hatian, “sayap” kita menjadi rapuh, kita jatuh dan merasa lelah, letih, “habis” dan tidak mempunyai “rumah”. Kita rindu pulang dan menantikan sambutan hangat Sang Bapa.
2. Anak sulung:
Kita mencintai hidup yang statis. Kita menjadi “anak manis” - yang taat, yang baik, yang tidak hanyut dalam “pesta-pora” tapi “kerasan di rumah”. Di balik itu, kita selalu merasa paling benar/paling baik. Kita sok dan terkena kesombongan rohani. Kita mudah mencibir, mempergunjingkan dan mencap buruk orang lain. Dengan kata lain: Kita menjadi si sulung yang “akar”nya keropos karena mudah iri dan tinggi hati. Kita merasa menjadi orang yang patuh dan taat kepada orangtua, guru, uskup bahkan kepada Tuhan. Kita seakan menjadi seorang yang “kerasan di rumah”. Tapi kita lupa bahwa “akar” kita keropos karena kita mudah iri hati: tersinggung, keras kepala, mudah menggerutu dan sulit bersekutu terutama sikap selalu merasa paling benar dan paling baik yang kadang ditunggangi oleh rasa dengki dan kesombongan.
3. Sang Bapa:
Inilah panggilan hidup yang sejati, menjadi Bapa yang menyambut “anaknya” dengan hangat dan bersahabat. Bapa yang berbelas kasih: menerima dan menghargai kerapuhan orang, yang mengasihi-menghargai dan mengampuni. Ia tidak menghakimi dan tidak mudah menuding. Ia adalah gambaran Allah yang penuh kasih bagi kita, entah kita sulung yang akarnya keropos atau bungsu yang sayapnya rapuh.
Saudaraku, mari kita berubah, tidak lagi menjadi “anak hilang”: tidak menjadi anak sulung yang iri hati atau anak bungsu yang tidak berhati-hati, tapi mau terus belajar menjadi “sang bapa” yang tulus dan iklas menyambut anaknya pulang, yang tidak mudah menghakimi tapi selalu mengampuni, yang penuh kerahiman dan belas kasihan terhadap setiap orang yang bersalah, selalu terbuka untuk menerima dan menghargai kerapuhan setiap orang dengan hati yang hangat, yang penuh damai dan kebaikan. Amin