JEMBATAN PERSAUDARAAN

( 20-07-2019 )

   Di tengah masyarakat modern yang semakin terdidik dan global ini, ternyata masih terdapat juga orang-orang yang bermental kerdil, yang mempunyai kecenderungan merusak; yang selalu meniupkan rasa iri dan benci. Orang destruktif se-perti ini melewatkan malam harinya dengan merencanakan kejahatan dan di siang hari mereka memecah-belah dan mengadu domba orang se-kantor, selingkungan, sewilayah atau separoki bahkan sekeluarganya sendiri.  Mereka merasa berarti, senang, bahkan merasa berjasa bagi Tuhan bila membuat orang yang tidak disukainya menjadi sengsara, mendapat kesulitan dan tidak menikmati kehidupan yang damai, aman-tenteram.

Di tengah suasana destruktif seperti ini, kita harus tetap memiliki komitmen besar untuk membangun jembatan persaudaraan di antara orang-orang muda dan yang tua, antara orang-orang miskin dan yang kaya, antara anak-anak dan keluarga mereka; seperti yang terjadi di zaman nabi Yeremia yakni tetap melaksanakan tugas kenabian-nya untuk membangun dan membentuk suatu bangsa yang berbakti. "Kamu telah membiarkan kambing dombaKu terserak dan tercerai-berai, namun Aku sendiri akan mengumpulkan sisa-sisa mereka ... dan membawa mereka kembali ke padang mereka" (Yer.23:2-3) Tuhan akan tetap menyelamatkan umat yang menjadi korban kedegilan hati orang ingin selalu merusak.

Rasul Paulus juga bertekad untuk membangun sebuah jembatan persaudaraan antara mereka yang 'jauh' dan yang 'dekat' antara orang Kristen-Yahudi di Yerusalem dan antara orang Kristen yang berasal dari bangsa-bangsa lain yang secara geografis jauh dari Yerusalem: "Saudara-saudara, di dalam Kristus Yesus kamu yang dahulu 'jauh' sekarang sudah menjadi 'dekat' oleh darah Kristus" (Ef.2:13). 

Kristus pun ingin membangun sebuah jembatan yang menghubungkan para penduduk miskin dari Galilea dan yang tidak mendapat perhatian dari para pemimpin rohani mereka, dengan diriNya. Hati Kristus pun tersentuh oleh belaskasihan yang dalam ketika melihat begitu banyak orang datang kepada-Nya untuk mencari kesejukan karena mereka "seperti domba yang tidak mempunyai gembala" (Mrk. 6:34) Di tempat yang sunyi itu, di pinggir danau Galilea, orang-orang sederhana itu bersatu dengan Yesus yang memberikan mereka kesejukan batin. Seperti Spiritualitas Kartusian: satu-satunya yang dapat mengisi kesunyian yang terdalam pada hati setiap orang: Allah sendiri.

Di tengah dunia yang sudah dilukai oleh perang yang tidak berkesudahan ini, tidak mudah memang membangun jembatan persaudaraan, oleh karena hadirnya orang-orang egois yang selalu iri melihat orang hidup dalam damai. Namun justru dalam keadaan dunia yang makin dilanda kebencian, iri hati dan sekaligus disintegratif inilah diperlukan manusia-manusia yang mampu dengan diam-diam membangun jembatan persaudaraan yang rusak itu  dengan mulai membangun komunitas yang bermutu baik dalam keluarga, lingkungan, wilayah dan paroki maupun masyarakat sekitar.

Pengalaman membangun kesatuan komunitas yang utuh, kokoh dan bermutu dalam keluarga justru menjadi dasar kita membangun jembatan persaudaraan dengan sesama. Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai orang Kristen terus berupaya membangun kesatuan dan keutuhan komunitas dalam keluarga sebagai sel terkecil sebelum membangun komunitas yang lebih besar. Sebab tak mungkin kita mampu membangun jembatan persaudaraan di luar komunitas bila dalam komunitas keluarga sendiri masih belum bersatu.

Saudaraku,  mulailah dari diri Anda sendiri. Sikap Anda akan sangat berpengaruh bagi perkembang-an lingkungan di sekitar Anda. Kekuatan mem-bangun jembatan persaudaraan itu ada pada sikap batin Anda yang memancarkan sinar Kristus sendiri yang mengalir keseluruhan tindakan dan perilaku yang Anda hadirkan dan tampilkan. Nah, berhenti-lah menyalahkan orang lain, lingkungan tapi lihat ke kedalaman batin Anda sendiri. (Hd.)