MAU BANGKIT? JANGAN TAKUT!

( 28-04-2019 )

Banyak orang bilang kalau hidup di dalam rahim Ibu itu menyenangkan. Segala nutrisi ada di sana. Perasaan aman dan nyaman lantaran senantiasa berada dalam dekapan mama juga ada di sana. Di dalam rahim itulah manusia kecil dipersiapkan terlebih dahulu sebelum bisa menghadapi kehidupan luar. Tidak mudah untuk bisa keluar dari rahim Ibu menuju dunia luar. Masing-masing harus berjuang. Baik Si jabang bayi, maupun bagi Sang Ibu. Namun, ketika berhasil, sukacita adalah ganjaran yang didapat.

Hal yang sama juga dialami oleh para murid. Mereka berada di dalam “rahim Tuhan Yesus” selama beberapa waktu. Tiga tahun kurang lebih mereka berada di dalam rahim Tuhan. Waktu yang cukup panjang untuk membangun sebuah ikatan emosi saling memiliki maupun untuk menyemaikan visi dan misi bersama. Dan di kala waktu-Nya telah tiba, mereka pun membutuhkan kekuatan ekstra untuk siap “dilahirkan” dan menghadapi dunia baru. Babak demikianlah yang dipersaksikan di dalam bacaan Injil Minggu ini.

Tidak mudah bagi para murid untuk bisa dilepas dari Sang Induk. Aneka macam ketakutan, kegalauan, kecemasan, melingkupi hati mereka. Mereka sampai mengunci pintu rumah, berkumpul bersama, berbagi ketakutan bersama sekaligus saling menguatkan satu sama lain. Segala macam pesan yang Tuhan Yesus pernah sampaikan serasa menguap begitu saja. Ketakutan membuat mereka lupa akan segala pengalaman di dalam rahim Tuhan.

 

Tak lama kemudian Tuhan datang. Datang dengan membawa sebuah kelegaan. Tuhan datang dengan sapaan yang paling menenteramkan, “Damai sejahtera bagi kamu!” Seakan-akan Tuhan sedang berkata, “Jangan takut, saat ini Aku menyertai kalian. Karena itu, damai sejahtera menyelimuti hati kalian.”

Tidak hanya itu, Tuhan datang dengan menunjukkan bekas luka di lambung, tangan dan kaki-Nya. Dia melakukan hal itu untuk meyakinkan bahwa sosok yang ada bersama mereka saat ini itu adalah benar-benar guru mereka. Mereka yang hadir percaya.

Sayang, saat itu Didimus tak hadir. Dia diberi warta, namun tidak percaya, bahkan ia berseloroh, “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya.” Apakah ini tanda bahwa Didimus seorang yang sangat rasional? Sehingga membutuhkan bukti untuk percaya? Kerapkali orang sulit percaya bukan karena dia tak mendapatkan tanda/bukti. Tanda kehadiran Tuhan dalam kehidupan ini sungguh sangat jelas. Dan kadang, manusia pun bisa mengenalinya.

Namun, percaya adalah perkara lain. Rasa luka yang belum tersembuhkan, bayang-bayang luka atau ancaman yang begitu kuat dalam pikiran manusia membuat mereka sulit untuk bisa percaya dan memasrahkan diri pada Tuhan. Mereka memilih untuk mengeraskan hati, percaya pada diri sendiri, tanpa mau mempercayakan sedikitpun hidupnya pada sosok di luar dirinya. Singkat kata, orang demikian itu takut untuk percaya. Dan itulah yang dialami oleh Didimus kala itu. Ketakutan kembali terluka (ditinggalkan Tuhan) atau terancam, membuat orang sulit untuk percaya pada kerahiman Tuhan.

 

Hari ini adalah hari Paskah II, sekaligus hari Kerahiman Tuhan. Tuhan telah mengandung kita di dalam “Rahim-Nya”. Aneka macam pengalaman dicintai, diterima apa adanya, diakui, diapresiasi, menjadi rahim bagi kita. Akhir dari kisah Injil hari ini ialah perutusan. Pengalaman dikandung dan dilahirkan memiliki misi utama untuk mewartakan karya cinta kasih itu ke lingkungan sekitar kita. Dan ini semua hanya mungkin terjadi ketika kita tak dikungkung rasa takut. Pada saat itulah kita juga mengalami kebangkitan. (RP. Yohanes Kukuh Cahyawicaksana, CM).