“Kesempatan untuk mawas diri, bertobat dan menjadi berkat untuk sesama.”

( 22-03-2019 )

Ada yang berpikir bahwa musibah atau malapetaka yang dialami manusia adalah akibat dosa manusia.Termasuk orang-orang Yahudi di zaman Yesus.Mereka  cenderung menghubungkan penderitaan dengan dosa. “Orang-orang yang mati dengan cara yang tidak lazim, pastilah orang-orang yang dosanya sangat besar,” begitu pikir mereka.Malapetaka dianggap sebagai hukuman dari Tuhan karena dosa dan kesalahan manusia.Kecenderungan seperti ini tidak hanya terjadi pada jaman Yesus. Kecenderungan itu  sering kita temukan di zaman ini, bahkan di dalam diri kita sendiri.

 

Kita sering menceritakan malapetaka yang dialami orang lain dengan menambahi kata-kata, “amit-amit” (semacam doa agar peristiwa serupa tidak menimpa kita). Mungkin, tanpa kita sadari, kita juga sering menggosipkan penderitaan orang lain dengan kesombongan rohani yang tersembunyi (bahwa nasib kita tidak seburuk mereka, karena Tuhan lebih berkenan kepada kita). Cara pandang seperti itulah yang ditegur oleh Yesus. Daripada menjadikan penderitaan orang lain sebagai gosip untuk menyombongkan diri, lebih baik menjadikannya sebagai panggilan untuk pertobatan.

 

Dalam bacaan Injil hari ini (Lukas 13:1-9), Yesus menanggapi dua musibah yang disampaikan orang banyak kepadaNya, yang satu karena kejahatan manusia yaitu orang-orang Galilea yang dibunuh Pilatus dan yang satu  peristiwa delapan orang yang  meninggal karena ditimpa menara Siloam. Mereka bercerita kepada Yesus dengan nada mencela orang-orang yang telah menjadi korban itu. Mereka berpikir bahwa orang-orang yang mendapat malapetaka itu sebagai akibat  karena dosa-dosa mereka.

Dari tanggapan yang diberikanNya,  Yesushendak meluruskan pikiran atau tuduhan mereka bahwa orang-orang itu mengalami musibah itu karena dosa mereka lebih banyak daripada mereka yang tidak mengalaminya.Bagi Yesus, kedua musibah  itu bukanlah semata-mata sebagai hukuman atas dosa-dosa mereka tetapi terutama sebagai peringatan kepada siapa saja bahwa hidup manusia itu tidak abadi. Hidup manusia itu terbatas, hidup manusia itu suatu saat akan berakhir. Oleh karena itu, daripada mempersoalkan tentang penyebab kematian “tragis” itu adalah akibat dari dosa, lebih baik menjadikannya sebagai peringatan untuk mawas diri dan bertobat.Manusia diajak untuk mempergunakan waktu sebaik-baiknya agar menghasilkan buah kebaikan.

Diceritakan pemilik pohon ara yang pohon aranya tumbuh di ladang kebun anggurnya. Tetapi tidak menemukan buahnya. Lalu Ia berkata kepada pengurus kebun anggur itu. Sudah tiga tahun mencari buah pada pohon itu dan aku tidak menemukannya.Tebanglah pohon itu. Untuk apa dia hidup di tanah ini dengan percuma. Jawab pengurus kebun itu: Tuan biarlah dia tumbuh tahun ini lagi, aku akan mencangkul tanahnya dan memberi pupuk kepadanya, mungkin tahun depan ia berbuah, jika tidak tebanglah Dia. Artinya Tuhan memberi kesempatan untuk berbuah. Kesempatan itu  dijalani dengan melalui pertobatan hidup yang terus menerus.

Pertobatan tidak hanya dimengerti sebagi tindakan sesaat yang membuat manusia berbalik dari perbuatan jahat menjadi perbuatan baik. Pertobatan yang dimaksudkan adalah sebuat tindakan terus menerus sebagai gaya hidup. Oleh karena itu, yang terpenting bagi kita adalah memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk terus mawas diri, bertobat dari dosa-dosa kita dan menghasilkan buah hidup yang menjadi berkat bagi banyak orang.Hidup merupakan kesempatan untuk untuk senantiasa menghadirkan Tuhan dalam diri kita agar kita mampu menggunakan setiap kesempatan yang diberikanNya, menjadi peristiwa hidup yang penuh berkah.

Apakah aku masih memberi kesempatan dalam hidupku untuk mawas diri, hidup dalam pertobatan dan menjadi berkat untuk sesama? (Agustinus Dodik Ristanto.CM)