MINGGU PANGGILAN

( 25-04-2015 )

Kita gembira karena umat Gereja Indonesia sadar bahwa panggilan Tuhan itu untuk setiap orang. Tak seperti dulu orang membedakan antara mereka yang terpanggil (religius), dengan orang yang tak terpanggil (awam). Memang kita tak dapat membayangkan bagaimana mungkin Tuhan menciptakan manusia sebagai citraNya tanpa melibatkannya dalam karya keselamatan Tuhan. Ambil bagian dalam karya keselamatan Tuhan dengan antusias disambut umat dengan berbagai keterlibatan mereka (walau masih ada juga yang kurang peduli pada panggilan Tuhan ini dan masih hidup bagi dirinya sendiri). Bagaimanapun Gereja katolik tetap membutuhkan biarawan-wati dan imam, yang tetap menjadi tulang punggung Gereja. Betapapun kepemimpinan Gereja masih mengandalkan kaum imam, dan misi Gereja juga masih mengandalkan biarawan-wati. Karena itu Paus Fransiskus memaklumkan tahun ini sebagai Tahun Hidup Bakti (Kaum Religius).

Bagaimana kebutuhan tersebut dapat terpenuhi? Yesus mengatakan :”Berdoalah mohon kepada sang empunya panenan untuk mengutus pekerja-pekerja kepanenan”. Jadi pertama-tama kalau kita mencintai Gereja, kita harus berdoa dan berdoa. Kita harus mengajak seluruh keluarga kita untuk berdoa bagi semakin suburnya panggilan calon biarawan-biarawati dan calon imam. Kita juga harus berdoa bagi mereka yang sudah merasa terpanggil dan dalam masa pendidikan untuk setia pada panggilanNya. Kita juga perlu berdoa bagi para imam dan biarawan-wati, yang muda maupun yang tua untuk menjalani panggilannya dengan setia, rajin dan penuh kesungguhan. Berdoa agar mereka semua mengikuti jejak Yesus gembala baik yang mengenal dan mengasihi umat, hingga rela mengorbankan hidupnya bagi umat.

Selain itu kita harus terbuka untuk menerima dan mendukung bila anak, anak didik, saudara-i, sahabat kita tertarik pada panggilan khusus ini. Dukungan ini sering tak mudah karena membutuhkan pengorbanan, yakni kerelaan kita untuk “melepas” mereka. Mudah berdoa bagi panggilan, tapi saat anak kita yang kita sayangi merasa terpanggil, kita mungkin memberontak: “mengapa harus anak saya Tuhan, biar anak orang lain saja”. Begitu juga tatkala sahabat kita yang kita harapkan bisa jadi pasangan kita merasa terpanggil, kita merasa berat. Mendukung juga berarti tidak tergoda dan menggoda mereka yang sudah terpanggil.

Akhirnya, dan mungkin ini yang sangat mendasar. Kita perlu menyiapkan diri kita, anak dan anak didik kita untuk terbuka pada panggilan Tuhan. Konkritnya panggilan Tuhan itu pasti berhubungan dengan keberanian hidup untuk sesama, bukan untuk diri sendiri. Yesus berkata: “Barangsiapa mencari nyawanya, dia akan kehilangan nyawanya, tetapi barang siapa berani kehilangan nyawanya demi Aku dan injil, dia justru akan memperolehnya.” Dan itu berarti melatih diri kita serta anak dan anak didik kita untuk berani berkorban, berani memberi diri, berani hidup untuk orang lain. Latihan ini tak bisa terjadi dari sendirinya –dalam dunia yang semakin egois dan autis ini- , tapi membutuhkan usaha nyata dan sengaja. Jangan membiarkan diri kita dan mereka hanyut dalam egoisme dan autisme, untuk itu berusahalah ikut dan mengajak mereka untuk ikut kegiatan dan pelayanan.(sadbudi)