LECTIO DIVINA

( 09-12-2014 )

LECTIO DIVINA

Lectio Divina (Bacaan Ilahi), a very ancient art [suatu seni latihan rohani yang sangat tua], adalah suatu cara berdoa kontemplatif untuk mendengarkan Sabda Allah “dengan telinga hati kita” (St. Benediktus). Kitab Suci dibaca untuk didengarkan dalam sikap doa. Dalam biara Benediktin, Lectio Divina menjadi bagian dari ritme hidup sehari-hari, bersama dengan Liturgi dan kerja tangan. Kemudian, Lectio Divina diminati juga banyak umat, khususnya yang ingin mempertajam kepekaan “telinga hati” dan menumbuh-kembangkan hubungan mesra dengan Allah.

Kata lectio berarti bacaan. Namun Lectio Divina bukan hanya cara membaca, melainkan suatu seni doa kontemplatif yang mencakup keseluruhannya, yakni: Lectio (Bacaan), Meditatio (Meditasi), Oratio (Doa), Contemplatio (Kontemplasi), dan dalam perjalanan ditambahkan Actio (Tindakan – yang mengalir dari pendengaran akan Sabda Allah). Arti pentingnya Lectio Divina itu tidak terbatas pada waktu berdoa saja, namun mencakup perubahan / pembaruan sikap hidup beriman secara nyata sekarang, bukan masa lampau. Paus Fransiskus, dalam Evangelii Gaudium, pada bagian Bacaan Rohani, menyatakan: “Ada suatu cara khusus untuk mendengarkan apa yang hendak Tuhan nyatakan kepada kita dengan Sabda dan untuk membuka diri kita sendiri agar diubah [dibarui] oleh Roh. Cara khusus inilah yang kita sebut Lectio Divina. Ini terdiri atas pembacaan Sabda Allah dalam saat / suasana doa dan mengijinkan Sabda-Nya mencerahi dan membarui kita.”

Jelas, sebagai doa kontemplatif, sesungguhnya Lectio Divina menuntut kita untuk lebih banyak mendengarkan dengan “telinga hati”, bukan banyak berbicara dengan mulut. Saat Alkitab dibacakan, sabda Allah diperdengarkan untuk didengarkan! Maka sikap batin dan cara membaca dalam Lectio Divina harus berbeda dari kebiasaan membaca novel, surat kabar, dan buku-buku lain. Nah, inilah yang menjadi soal dengan bahan Pendalaman Kitab Suci yang disediakan LBI dalam BKSN 2014, karena lebih merupakan studi dan sharing Kitab Suci, dan mengkondisikan kita untuk banyak berbicara; kurang ada saat pribadi untuk mendengarkan Sabda Allah secara kontemplatif. Tentu saja studi, eksegese dan ketekese sungguh diperlukan, supaya kita tidak terjebak dalam kecenderungan sikap subyektif: menggunakan ayat-ayat Alkitab hanya untuk membenarkan pikiran atau rancangan kita sendiri tanpa mempedulikan pesan asalinya.       Namun supaya Lectio Divina menjadi saat doa kontemplatif, bukan diskusi panjang lebar, sebaiknya studi itu menjadi bagian persiapan, seperti mempelajari peta, sebelum kita menempuh perjalanan doa kontemplatif dalam Lectio Divina. Arti pentingnya Lectio Divina dalam menumbuh-kembangkan hubungan mesra dengan Allah itu kiranya bisa kita mengerti dengan analogi mengenai mendengarkan, makan dan cinta: Tidaklah mungkin kita mendengarkan suara dengan meminjam telinga orang lain. Tidaklah mungkin kita mengunyah dan menelan makanan dengan meminjam mulut orang lain. Tidaklah mungkin kita membalas dan menyatakan cinta dengan meminjam hati orang lain. Maka tidaklah mungkin kita mendengarkan sabda Allah dengan meminjam “telinga hati” orang lain… Tidaklah mungkin secara personal membalas cinta Allah dengan sepenuh hati melalui perwakilan atau dengan meminjam hati orang lain.

Maka, dengan tetap menggunakan bahan yang sama, struktur Pendalaman Kitab Suci perlu dimodifikasi, supaya Lectio Divina sungguh menjadi saat doa kontemplatif, saat membuka “telinga hati” kita untuk mendengarkan Sabda Allah dan membuka diri kita untuk dicerahi dan dibarui Roh Kudus. Dengan modifikasi ini, pertemuan Pendalaman Kitab Suci tersusun sebagai berikut:

Bagian I: Persiapan (sebaiknya dilakukan sekitar 30 menit)

·           Pemandu menyampaikan tujuan pokok setiap pertemuan. Lalu keseluruhan teks Kitab Suci dibacakan satu kali dan sejelas mungkin oleh pemandu atau petugas yang telah ditunjuk.

·           Pemandu memimpin studi berdasarkan materi yang telah disediakan LBI. Di sini, baik untuk memperhatikan pesan Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium, yakni studi diperlukan untuk “memastikan warta inti teks,” agar kita tidak terjebak dalam kecenderungan subyektif seperti yang dilakukan kaum fundamentalis: menggunakan – atau lebih tepat: menyalah-gunakan – ayat-ayat dari Kitab Suci untuk membenarkan pikiran atau rancangan picik mereka sendiri.

·           Supaya setiap peserta, dengan latar belakang masing-masing, bisa menangkap warta inti teks secara pribadi, maka bisa diadakan tanya jawab atau dialog dengan semua peserta. Arti pentingnya persiapan ini seperti halnya mempelajari peta perjalanan, supaya kita tidak tersesat, namun bisa mencapai tujuan. Di sini, harus disadari bahwa mempelajari peta perjalanan tidak menggantikan perjalanan, yakni perjalanan doa kontemplatif dalam Lectio Divina.

Bagian II: Lectio Divina (sebaiknya dilakukan sekitar 1 jam)

Semua peserta sudah mulai masuk dalam sikap dan suasana doa untuk mendengarkan Sabda Allah dengan “telinga hati”. Keseluruhan Lectio Divina menempuh lima tahapan utama berikut:

1.      Lectio: Membaca untuk mendengarkan sabda Allah

Pada umumnya teks dibacakan secara lambat dan jelas sampai tiga kali, yakni: i) Oleh seorang pembaca; ii) Oleh semua peserta secara bergantian per ayat; iii) Secara pribadi oleh masing-masing peserta. Di sini, bisa juga kita mengikuti petunjuk yang telah disediakan oleh LBI. Namun saat untuk membaca teks secara pribadi tetap harus diadakan, karena ini mutlak dalam Lectio Divina untuk mendisposisikan dan menajamkan kepekaan “telinga hati” yang tidak mungkin digantikan telinga orang lain.

2.      Meditatio: Mengunyah berulang-ulang (nggayemi)

Istilah yang biasa dipakai untuk menggambarkan apa yang kita lakukan dalam meditatio adalah nggayemi atau mengunyah berulang-ulang makanan yang telah ditelan, seperti yang dilakukan binatang memamah-biak. Dalam praktek, dalam hati kita mengulang-ulang ayat atau pesan tertentu yang secara pribadi menyapa atau menyentak “telinga hati” kita. Sentakan di sini bisa berupa peneguhan, anjuran, teguran, kritik tajam…, yang menyapa kenyataan hidup pribadi kita sekarang. Di sini, baiklah kita memperhatikan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Paus Fransiskus:

“Apa yang hendak dikatakan teks ini kepada saya? Apa yang dimaksud teks ini berkenaan dengan perubahan hidup saya? Apa yang terasa menggoncang saya? Mengapa saya tidak tertarik pada teks ini? Atau barangkali: apa yang paling saya suka pada teks ini? Satu kata apa yang menggerakkan hati saya? Mengapa menarik hati saya?” Jikalau kita berusaha mendengarkan Tuhan, biasanya muncul aneka godaan: merasa terganggu atau terbeban, dan ingin menghindarinya…, berpikir mengenai apa yang dimaksudkan teks tersebut untuk orang lain, dan dengan demikian menghindari pengenaannya untuk kehidupan kita sendiri. Dapat juga terjadi bahwa kita mencari-cari alasan memaafkan diri untuk mengurangi maksud yang jelas-tegas dari teks.”

Perlu disadari bahwa aneka godaan itu bisa mengalihkan fokus perhatian kita dari Sabda Allah, menumpulkan kepekaan “telinga hati” dan menghalangi keterbukaan kita untuk dibarui oleh karya Roh Kudus.

3.      Oratio: Berdoa dari Sabda Allah, tanggapan atas Sabda-Nya.

Ayat tertentu yang menyapa atau menyentak “telinga hati” kita secara personal kita ulang, bisa kita ucapkan dengan bahasa kita sendiri. Lalu kita tanggapi dengan doa, bisa berisi ucapan syukur, pujian, permohonan, pertobatan…, sesuai dengan sikap kita atas sabda Allah yang secara pribadi telah menyapa kita. [Jika dirasakan baik, iringan musik instrumental lembut bisa dimulai di awal Oratio. Namun dari pengalaman, musik dirasakan kondusif pada tahap berikutnya, yakni Contemplatio.]

4.      Contemplatio: Mencerna nutrisi rohani dan terbuka untuk dibarui oleh karya Roh Kudus.

Kita masuk dalam dinamika pasivitas-aktivitas rohani…, seperti hidung kita yang diam, namun terbuka dan menghidup ruah / udara kehidupan. Hanya dalam pasivitas, seperti juga diamnya tanah, akan berlangsung aktivitas rohani dan karya kasih yang berdaya tahan. Ilustrasi lain: di antara pribadi-pribadi yang sungguh saling-mengasihi akan dialami dan disadari bahwa ada misteri kasih dan kebenaran yang tidak terkatakan, karena kekayaan dan kedalamannya melampaui kata-kata. Maka hanya bisa dialami dalam keterbukaan yang diam. Demikianlah sikap kita dalam kontemplasi di hadapan misteri Ilahi…, diam membuka diri untuk diubah dan dibarui oleh karya Roh Kudus.

5.      Actio: Tindakan / sikap yang mengalir dari pendengaran Sabda Allah

Di sini, kita bisa sharing / berbagi persembahan niat kepada Allah untuk ditindak-lanjuti dalam hidup sehari-hari. Berbagi persembahan niat kepada Allah itu bisa saling memperkaya dan meneguhkan dalam perjalanan rohani / iman untuk mewujudkan niat baik.

Catatan:

Sengaja pada awal dinyatakan bahwa Lectio Divina adalah a very ancient art. Seni latihan rohani. Seni dalam bidang apapun tidak mungkin dikuasai dalam satu kali latihan. Dituntut pengulangan dan disiplin latihan yang rutin. Bisa dilakukan secara pribadi!